PORSENI, BERJUANG ATAU PULANG SAJA! #1

PORSENI, BERJUANG ATAU PULANG SAJA!


24 februari, hujan tak henti-hentinya mengguyur Lamcin. Siulan burung tak lagi terdengar dengan jelas hanya suara air yang ribut menghantam atap rumah. Angin kencang membuat hutan bergemuruh dan mengugurkan dedaunan. Air sungai meluap dan berubah dari bening ke cokelat susu. Meskipun tak bisa lagi memanfaatkan  sungai, setidaknya hujan memenuhi drum-drum penampungan kami.
Pagi yang dingin ini, aroma buah masih saja memenuhi udara kampung, hutan yang lebat menjanjikan kenikmatan yang tak pernah saya jumpai di Sulawesi. Aneka buah berhamburan di sana dan tak seorang pun yang mengklaim bahwa sebijipun diantaranya adalah miliknya, milik orang tuanya, atau milik neneknya, semua itu adalah milik bersama. Siapa saja bisa mengeksekusinya sampai perutnya over size tanpa harus membayar atau diteriaki maling. Free for everyone. Inilah satu hal yang sangat kusukai dari Lamcin, wujud kehidupan komunal yang selama ini hanya bisa kuhayalkan. Sosialisme yang teorinya berhamburan dalam milyaran buku di dunia ini, terimplementasikan secara alami dalam kehidupan masyarakat pedalaman yang bahakan tidak mengenal Karl Marx.
Di ruangan bercat hijau ini, telah duduk dengan tertib segenap aparat kampung, orang tua murid, dewan guru dan yang paling mengejutkan, kepala sekolah. Setelah menghilang sejak beberapa bulan belakangan akhirnya dia datang dan langsung menyampaikan permintaan maaf serta alasan-alasan atas kinerjanya yang tidak nampak oleh mata. Di tengah-tengah kami, telah berjejer dengan gagah 4 piala hasil kerja keras di event PORSENI Merapun. Satu minggu momen penerimaan piala itu telah berlalu dan suaraku perlahan kembali pulih.
Setelah Ahmad membacakan perincian dana yang dihabiskan selama kegiatan, pak Adi mempersilakan beberapa orang tua untuk mengutarakan pendapatnya perihal hasil yang dicapai. Pak Marson menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas berkaca-kacanya mata Ahmad dan nyaris kehabisan vokabulary untuk merespon pernyataanya. Ekspresi Ahmad pulalah yang membuat saya seolah terbang jauh ke masa lalu dan menghilang dari rapat ini.
“Saya merasa sangat bangga dan terharu melihat apa yang ada di depan kita semua.  Piala ini seperti mimpi buat saya. Tidak menyangka kalau anak-anak kita ternyata bisa juga bikin prestasi di luar sana. Jujur, saya tidak pernah melihat 3 anak saya, Juli, Sumarna, dan Deli begitu bergairah untuk pergi sekolah dan belajar dengan serius hingga larut malam sampai bapak guru SM-3T ini, Pak Saddang sama Pak Ahmad datang ke kampung kami” katanya dengat bahasa Indonesia yang tebata-bata. Anggukan dari orang tua yang lain seolah membenarkan apa yang dia ucapkan. Sejenak menarik nafas lalu kembali dia berucap dengan nada memohon “Terima kasih banyak untuk itu pak, kami sangat bersyukur. Tapi, Pak guru berdua bisa kah jangan pulang dulu kalau kontraknya nanti sudah habis, saya dengar cuman satu tahun, kami orang kampung sangat senang kalian di sini dan berharap banyak karena anak-anak sudah banyak perubahan.” Belum lagi kontrak ini habis, orang tua sudah mencoba menahan kami untuk pulang.
“Bisa langsung dijawab, Pak Ahmad silahkan duluan” pak Adi memberikan kesempatan pertama pada Ahmad dan yang ditunjuk malah memandangku dengan tatapan tak berdaya dan mata yang berkaca-kaca, bukannya membalas tatapannya, pandanganku malah kosong lalu seluruh ruangan nampak kabur. Tidak siap tampil cengeng dihadapan orang tua murid, saya langsung berdiri lalu berjalan memunggungi pintu yang berderit pelan di belakangku. Ruang kosong di sebelah menjadi saksi air mata haru yang menetes di pipiku. Saya duduk memanjangkan kaki dan meliarkan ingatan tenatang rentetan peristiwa yang membuat hari ini begitu berarti.
. . . .

***

Tanjung Redeb, Oktober 2015       
“Halo, Apa kabar, Pak? Sibuk ya, kok 2 bulan ini tidak ke sekolah?” ucapku setelah nada tunggu di handphone berhenti.
            “Iya, aku masih banyak urusan di kota jadi belum sempat ke kampung, ada apa?” jawabnya dengan nada terburu-buru, memberi kesan untuk tidak berlama-lama dan segera menutup pembicaraan.
            “Katanya, akan ada kegiatan porseni, gi mana itu pak?”
            “Oh iya dengar-dengar memang ada tapi aku juga belum tau perkembangannya”
            “Kami mau belanja alat-alat olahraga pak, mumpung kami masih di Tanjung ya sekalian aja. Untuk latihan anak-anak di kampung”
            “Ok ambil aja dulu, nanti kalo BOS cair aku ganti”
“tuut tuut tuuut” Pembicaraan selesai.
Saya kemudian mengkonfirmasi pada Ahmad, tantang hasil pembicaraan dengan kepala sekolah.
            “Pak Kepsek katanya belum tau kejelasannya tapi dia bilang kalo kita rencana untuk belikan anak-anak perlengkapan olahraga, silahkan saja nanti kalau dana BOS cair dia akan ganti”
            “Ok lah kalau begitu”

Saya dan Ahmad langsung bergegas ke toko Olahraga. Mengambil langkah 1000 karena malam semakin larut dan besok pagi-pagi sekali kami akan berangkat kembali ke kampung. jangan sampai tokonya tutup dan kami tak membawa apa-apa. Berjalan kaki sejauh 2 KM menyusuri jalan-jalan kota di satu malam yang mendung tidaklah terlalau melelahkan karena semangat membawa perubahan yang menggebu-gebu.
            “Berapa harga Bola kakinya, Pak?”
            “harganya bervariasi, dek, tergantung dari kualitas. Kalau ini 500, ini 350, ini, 250” bapak bemata sipit dengan kulit putih itu nampak jijik melayani kami yang datang tepat sebelum dia menutup tokonya. 
            Saya tidak punya banyak waktu untuk melakukan tawar menawar ingin segera mengambil yang paling bagus tapi mulutku berkata lain “ada yang lebih murah, Pak?”
            Raut wajah si Toke semakin loyo, kelihatan dari cara dia menarik nafas yang sangat dalam lalu dengan cepat menghembuskannya. “Ada, 175 ribu, tidak ada lagi yang lebih murah”
            “Gimana, Mad?” saya secepat kilat mengalihkan pandangan. Hanya anggukan yang saya dapat.
            “Ok deal, 175 ribu. Kalau bola voly berapa’an, Pak?”
            “Yang paling Murah, 400. Ori” Bapak yang satu ini ternyata mudah memahami selera konsumen, pedagang yang cerdas.
            “Bola takraw berapa, Pak?
            “75 ribu” tanpa dia katakana pun saya sudah bisa memastikan bahwa itu adalah spesies paling murah. Otakku bekerja cepat menjumlahkan angka-angka itu, dan memepertimbangkan dengan sekian Rupiah yang masih tersisa setelah habis-habisan belanja bulanan sore tadi.
            “Bro?” Kataku meminta persetujuan. Kerutan di dahi Ahmad memberi kesan penolakan tapi telingaku mendengar dia mengucapkan “Perjuangan tanpa batas Bro!”
            “Mantap, Merdeka!” Hahaha, Kami kompak tertawa sementara si Toke bingung keheranan melihat kami.
            “Ok Pak, Deal 3 items!”
            Kami memunggungi toko dengan perasaan bangga dan bahagia. Bangga karena telah berani berkorban, menyisihkan sebagian uang saku kami sebagai guru SM-3T yang tidak seberapa untuk keperluan anak-anak didik kami. Belum lagi kami bertemu dengan mereka sudah tergambar jelas tawa dan keceriaan mereka ketika melihat semua ini.

***

Long Lamcin
            Keesokan harinya kami berangkat pukul 7 pagi dan tiba pukul 2 sore. Anak-anak yang sedang asyik bermain di seberaang sungai tempat pemberhentian kami memanggil-manggil dan berlari mendekat.
            “Pak Guruuu!” suara mereka menyebrangi sungai.
            “Hi kalian semua, how are you?”
            “Fine, Sir! Pak guru mau menyebrang kah?”
            “Iya, Nak. Tolong bantu Pak guru” beberapa siswa kemudian mengambil salah satu perahu yang tak bermesin kemudian mendayung menuju kami. Saya salami mereka satu persatu kemudian menabrakkan telapak tangan “Give me five! Plak plak plak!” Kami sungguh kompak.
            Sore itu, langit sangat cerah dan udara terasa lebih panas dari biasanya. Setelah istrahat sebentar dan membersihkan rumah yang berdebu setelah ditinggal pergi selama beberapa hari saya mengumpulkan anak-anak di depan sekolah kemudian memeberikan mereka sedikit penyampaian.
            “Selamat sore!”
            “Sore, Sore, Sore!”
            “Saat liburan di Tanjung, Pak guru dapat informasi kalau nanti akan diadakan kegiatan PORSENI tingkat SD sekecamatan Kelay. Ada yang tau apa itu PORSENI?”
            “Saya Pak Guru” Nopel, siswa kelas IV mengangkat tangan penuh semangat.
            “Ok, Apa itu, Nak?”
            “Hmm… anu Pak Guru, mmm Perseni, Permainan Seni” jawabnya sedikit ragu.
            “Good, Applause dulu untuk Nopel” mereka memberi tepuk tangan kemudian saya membenarkan.
            “Jadi anak-anaku sekalian, PORSENI adalah singkatan dari Pekan Olahraga dan Seni. Kegiatan tahunan yang memperlombakan beberapa cabang olahraga dan seni. Olahraga seperti sepak bola, takraw, volley, bulu tangkis, dan lain-lain. Seni seperti melukis, menari, dan lain-lain. Ada yang sudah pernah ikut?”
            “Sudah” mereka kompak menjawab. Ternyata bukan hal baru bagi mereka.
            “Di mana yang kalian sudah ikuti?”
            “Long Boy, Pak guru. Waktu natal gabungan” Teriak Jeki dengan yakin, kemudian muncul suara-suara yang lain membahas pengalaman mereka saat itu.
            “Oh natal gabungan, pertandingan apa saja yang ada?”
            “Volley, takraw sama paduan suara, tapi kami cuman nonton, Pak guru. Orangtua saja yang main”
            “Tidak papa, yang penting kalian sudah pernah lihat orang bertanding kan. Jadi PORSENI mirip dengan natal gabungan, ada perlombaan olahraga dan seni tapi yang bertanding adalah kalian semua, melawan siswa-siswi dari sekolah lain yang ada di kecamatan Kelay ini. Jadi nanti kalian akan tanding lawan anak dari Long Boy, dari Merabu, Merasa, Lesan Dayak dan yang lain. Pokoknya pasti akan seru sekali, kalian akan berjumpa dengan banyak orang baru.” Mereka fokus mendengarkan dan sepertinya sedang membayangkan mereka dalam kerumunan orang banyak, mendapat teriakan atau meraih kemenangan. Satu persatu mereka saling memandangi sambil berbica-berbicara kecil dalam bahasa mereka sendiri.
            “Kapan itu, Pak guru? Di mana?” Tanya Yoses antusias.
            “Sekitar bulan 2 di Kampung Merapun. Kalian tau itu tempatnya?”
            “Tidak, Pak guru”
            “Ya, Kampung Merapun itu Ujungnya kecamatan kelay. Kalau kita di Lamcin ini terletak di bagian ujung juga tapi paling atas sedangkan Merpun itu di ujung bawanhnya.”
            “Oo, berarti jauh ya, Pak guru?”
            “Ya, memang lumayan jauh tapi tenang saja, tidak usah pedulikan jaraknya pokoknya kita latihan dengan baik, latihan yang disiplin supaya nanti kita bisa pulang bawa piala. Sepakat?”
            “Sepakat!!!” Teriak mereka dengan lantang.
            Hari itu juga, saya dan Ahmad memulai membangun semangat dan kepercayaan diri anak-anak didik kami. Apapun yang terjadi, mereka harus keluar dari kampung ini ikut merasakan dunia luar, bertemu dengan orang-orang baru, mencicipi atmosfer kompetisi dan yang terpenting adalah melihat realitas bahwa dunia ini luas, bukan hanya Lamcin. Angin menerpa wajahku, sengatan matahari mulai melemah dan kurasakan darahku mengalir lebih cepat. Dalam hati ini kuucapkan, “aku ingin berbuat untuk tanah pengabdianku”.


***
to be continued ....

0 Response to "PORSENI, BERJUANG ATAU PULANG SAJA! #1"

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa